Ratusan warga di Desa Pucung Lor, Kecamatan Ngantru saling cambuk hingga punggungnya berdarah pada Jumat (17/06/2022) siang. Bukannya perkelahian, namun mereka menggelar tradisi kesenian Tiban. Ratusan penonton ikut meramaikan pelestarian budaya lokal yang akan digelar selama 3 hari mulai 17-19 Juni 2022 dengan ditutup dengan Festival Sholawat di akhir acara.
Kepala BKN PDI Perjuangan Tulungagung, Binti Luklukah saat menyampaikan sambutannya mengatakan, pagelaran seni tradisi tiban dan festival sholawat untuk memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni ini merupakan salah satu upaya melestarikan budaya leluhur.
“Kita adakan tradisi Tiban dan sholawat ini dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dan menambah nasionalisme. Seperti yang telah disampaikan oleh Bung Karno yaitu Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah,” kata wanita yang juga menjadi anggota DPRD Tulungagung ini.
Binti menjelaskan, seni tradisi tiban atau Tari Tiban merupakan tradisi, kearifan lokal yang dilakukan masyarakat setempat untuk meminta hujan. Tari Tiban berasal dari Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
“Iya benar, tradisi tradisional kesenian Tiban berasal dari Desa Wajak Tulungagung, yang sudah melegenda seluruh Nusantara,” jelas binti.
Meski demikian, Ritual Tiban juga berkembang di pesisir selatan Jawa Timur lain seperti Trenggalek, Blitar, hingga Kediri. Karena diselenggarakan dengan maksud meminta hujan, maka tradisi Tiban biasanya digelar pada musim kemarau.
Dengan melestarikan seni tradisi tiban, dirinya berharap bisa menjadi media memperkuat tali silaturahmi antar masyarakat Tulungagung serta dapat meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan yang selama ini sudah terjalin
Berdasarkan pantauan suarabintara.com di lokasi, ritual Tiban tersebut dilaksanakan di lapangan bola desa setempat. Kemudian, di salah satu sisi lapangan dipagari bambu setinggi sekitar satu meter dengan luas 8 meter persegi.
Selanjutnya, dua warga yang hanya memakai celana memasuki arena sambil membawa cambuk yang terbuat dari aren (lidi) yang sudah dianyam. Sebelum dimulai, masing-masing pemain diminta saling berjabat tangan oleh wasit yang juga berada di dalam arena.
Kemudian kedunya langsung berjingkrak mengikuti irama musik kentrung yang mengiringi acara tersebut. Peserta saling cambuk secara bergantian. Masing-masing diberi kesempatan sebanyak tiga kali.
Mereka hanya diperbolehkan mencambuk pada bagian punggung, perut, tangan, dan kaki. Saat mencambuk pun mereka harus menunggu posisi lawannya siap dengan tangkisan cambuk serupa.
Saat kedua peserta telah menyelesaikan tiga kesempatan untuk mencambuk lawannya, salah satu peserta harus rela keluar arena dan diganti dengan penantang yang baru. Hal ini terus dilakukan hingga menjelang magrib.
Meski kulit punggung para peserta mengelupas hingga mengeluarkan darah, namun mereka tetap kompak dan tidak ada dendam antar peserta.
Di tempat yang sama, Kepala Desa Pucung Lor Ngantru Tulungagung Imam Sopingi mengatakan, melestarikan seni tradisi tiban merupakan salah satu upaya menjaga menjaga budaya. Dan menjaga budaya adalah bagian menjaga bhinneka tunggal ika. Ritual ini sengaja dilakukan selain untuk melestarikan seni budaya, juga untuk rasa syukur warga Desa setempat.
“Kita gelar tradisi tiban dalam rangka hari Pancasila sekaligus menjaga budaya Tradisi leluhur. Selain untuk rasa syukur warga kami juga ingin menguri-nguri (melestarikan-red) kebudayaan,” imbuhnya.
Imam Sopingi menambahkan, dalam ritual ini pihaknya menyiapkan 200 cambuk selama 3 Hari gelaran akbar ini. Ritual ini juga dipimpin oleh seorang wasit dan satu orang asisten wasit. Jika aturan dilanggar, maka peserta akan di diskualifikasi.
“Bagi yang mengalami luka-luka karena cambuk, maka mereka hanya mengobatinya dengan ludah. Peserta percaya keesokan harinya luka tersebut sudah mengering dan sembuh,” pungkasnya.