SUARABINTARA.COM, Jakarta – Hakim YR dan DA cs yang ditangkap BNNP Banten, kalau hasil assesmennya sebagai penyalah guna maka wajib ditempatkan di IPWL selama proses pemeriksaannya dan bila terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri bukan untuk dijual, sanksinya menjalani rehabilitasi.
Berdasarkan Penjelasan KA BNNP Banten Hendri Marpaung detiknews, 23 mei 2022 , Barang bukti yang disita sabu seberat 20,634 gram, alat yang digunakan mengkonsumsi sabu berupa pipet, bong, korek api. Hasil tes dinyatakan positif menggunakan narkotika.
Atas dasar penjelasan tersebut, bahwa perkara YR dan DA cs dimana barang bukti yang ditemukan adalah alat yang digunakan untuk mengkonsumsi sabu seperti pipet, bong, korek api dan hasil tesnya YR dan DA cs positip menggunakan narkotika menunjukan bahwa YR dan DA cs adalah penyalah guna narkotika diancam pidana berdasarkan pasal 127/1,
Secara sepintas, kalau hanya berdasarkan Barang Bukti yang ditemukan seberat 20,634 gram sabu pastinya banyak yang berpendapat YR dan DA cs tergolong sebagai pengedar diancam pidana berdasarkan pasal 112
Sebagai penyalah gunapun YR dan DA cs diancam dengan sanksi penjara, tetapi selama proses pemeriksaannya baik tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan wajib ditempatkan di IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yaitu rumah sakit atau lembaga rehabilitasi berdasarkan PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu dan dijatuhi hukuman menjalani rehabilitasi berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Secara redaksional YR sebagai pembeli dan pemerima kiriman narkotika, sabu seberat 20,634 gram memenuhi sarat diberikan sanksi pidana dengan pemberatan berdasarkan pasal 112 tetapi harus dibuktikan apakah YR mendapatkan keuntungan dari kepemilikan narkotika seberat 20,634 gram tersebut.
Apakah sabu seberat 20,634 gram dijual kembali oleh YR, dan apakah rekening YR bersih dari aliran hasil penjualan narkotika, selama tidak terlibat masalah peredaran gelap narkotika maka YR adalah penyalah guna meskipun BBnya seberat 20,634 gram.
Hal yang lebih penting adalah menangkap siapa penjual narkotikanya yang dibeli atau dipesan YR karena tujuan penegakan hukum narkotika adalah memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu.
YR dan DA cs adalah pecandu.
Penyalah guna narkotika seperti YR dan DA cs bila dilakukan assesmen, hasilnya dapat dipastikan, kalau tidak sebagai korban penyalahgunaan narkotika ya sebagai pecandu. Sebagai korban penyalahgunaan narkotika bila untuk pertama kali menggunakan narkotika, itupun secara tidak sengaja, bila sering dan sengaja menggunakan narkotika maka tergolong sebagai pecandu.
Karena status YR dan DA cs yang ditangkap tersebut kriminal dan belum gugur karena tidak melakukan wajib lapor pecandu, maka biaya penempatan kedalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi atas perintah penyidik, jaksa dan hakim menjadi tanggungan Pemerintah cq Kementrian Kesehatan secara terpusat, selanjutnya rumah sakit atau lembaga rehabilitasi dapat melakukan reimburse ke Kementrian Kesehatan.
Penyidik yang menangkap penyalah guna apapun profesinya baik hakim, jaksa, polisi, bahkan tentara maupun artis dan rakyat biasa “wajib” diperlakukan sama, yaitu ditempatkan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk sebagai IPWL dengan surat perintah resmi dari penyidik (PP 25/2011 pasal 13).
Demikian pula selama proses penuntutan dan pengadilannya “wajib” ditempatkan dirumah sakit atau lembaga rehabilitasi dan hakim yang mengadili “wajib” memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi sebagai bentuk hukuman.
Hukuman menjalani rehabilitasi adalah tujuan dari proses penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika yaitu menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, melalui kewenangan hakim untuk memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi dan melalui wajib lapor pecandu.
YR dan DA cs harus dihukum.
Hakim YR dan DA harus dihukum tetapi jangan sampai dijatuhi hukuman penjara oleh hakim yang mengadili dan jangan sampai terjadi seperti seperti yang dialami Nia Rahmadani cs, dijatuhi hukuman penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri, selanjutnya dianulir oleh Pengadilan Tinggi dengan hukuman menjalani rehabilitasi.
Sebaliknya jangan sampai terjadi seperti yang dialami oleh Rhido Rhoma yang dijatuhi hukuman menjalani rehabilitasi oleh Pengadilan Negeri tetapi dianulir oleh Pengadilan Tinggi dengan penambahan hukuman penjara.
Hukuman rehabilitasi secara positip berlaku sebagai penganti hukuman pidana, kalau proses pengadilannya fair, hakim tidak punya pilihan dalam menjatuhkan hukuman bagi YR dan DA cs selain memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi sebagai bentuk hukuman.
YR dan DA cs adalah penyalah guna yaitu pelanggaran hukum pidana narkotika dengan kepemilikan narkotika bagi diri sendiri (bukan untuk dijual).
Penyalah guna narkotika, bagi diri sendiri diancam dengan pasal khusus yaitu pasal 127/1. Dalam memeriksa perkara tersebut hakim wajib (pasal 127/2) untuk menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 yaitu kewenangan hakim dapat menjatuhkan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.
Momen hakim ditangkap BNN, semoga menjadi proses pembelajaran bagi penegak hukum khususnya hakim untuk memahami bahwa berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku penyalah guna adalah penderita sakit kecanduan narkotika, diancam secara pidana, tetapi hukumannya bukan penjara melainkan menjalani rehabilitasi sebagai hukuman pengganti hukuman pidana agar pulih seperti sediakala.
Hukuman rehabilitasi berlaku secara positif di Indonesia berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dimana tujuan penegakan hukumnya adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d), hakim diberi kewajiban (pasal 127/2) dan kewenangan (pasal 103) dapat memutus atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.
Managemen penanggulangan masalah narkotika.
Penyalah guna diperlakukan secara humanis, dan pengedarnya diperlakukan secara represif maknanya penyalahguna diprioritaskan melakukan wajib lapor pecandu agar mendapatkan perawatan dan status pidananya gugur sehingga masalah pidananya selesai. Bila tidak melaksanakan kewajiban hukum tersebut maka penyalah guna dapat dilakukan penegakan hukum dengan sanksi pengganti berupa rehabilitasi, sedangkan terhadap pengedar menjadi sasaran utama penegakan hukumnya dengan sanksi pidana dengan pemberatan.
Saya mengingatkan bahwa managemet UU narkotika lebih memprioritaskan penyalah guna untuk melakukan wajib lapor ke IPWL untuk mendapatkan perawatan sementara, dan untuk menggugurkan status kriminalnya sehingga setelah status pidananya gugur apabila relapse atau kambuh maka penyalah guna diperlakukan seperti pasien dan biaya rehabilitasi ditanggung sendiri atau keluarganya.
Kenapa managemen penanggulangan UU narkotika terhadap penyalah guna, justru memprioritaskan penyalah guna diwajibkan melakukan wajib lapor pecandu ?
Sebab biaya wajib lapor pecandu yang ditanggung pemerintah lebih ringan, dari pada biaya penegakan hukum.
Biaya wajib lapor hanya berkisar sekitar 4 juta rupiah perorang, sedangkan biaya penegakan hukum dengan hukuman rehabilitasi biayanya sangat besar, terdiri dari biaya penegakan hukum dan biaya rehabilitasi atas keputusan dan penetapan hakim. Apalagi kalau penjatuhan hukumannya berupa hukuman penjara disamping biaya besar, juga tidak bermanfaat.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.
Penulis adalah Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. ahli hukum narkotika, mantan KA BNN.